Pages

Kamis, 26 Mei 2011

Kinerja BPK yang kurang transparan

Latar Belakang Masalah


Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Korupsi mengakibatkan kerugian negara dan dapat meusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Berbicara tentang korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Keadaan demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera.
Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Tindakan pidana korupsi secara garis besar mencakup unsure-unsur sebagai berikut :
·         Perbuatan melawan hukum
·         Penyalahgunaan kewenangan kesempatan atau sarana
·         Memperkaya dirisendiri, orang lain atau korporasi,dan
·         Merugikan keuangan atau perekonomian Negara
·         Memberi atau menerima hadia atau janji (penyuapan)
·         Penggelapan dalam jabatan
·         Pemerasan dalam jabatan
·         Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai ataau penyelenggara Negara); dan
·         Menerima gratifikasi
Pengelolaan Keuangan Negara pada dasarnya harta kekayaan Negara adalah milik Allah swt, pemerintah dan pejabat hanyalah sebagai orang-orang yang mendapat kepercayaan (amanat) untuk mengatur dan mengelola dengan baik dan benar. Untuk mewujudkan management keuangan yang semestinya, Negara tidak hanya bertugas mengatur sistem ekonomi dan politik secara global tetapi juga berkewajiban meletakkan sistem pengawasan, perlindungan, dan pengarahan yang efektif dan sistematis. Secara garis besar sistem pengawasan dan pemeriksa keuangan nagara ada dua bentuk, intern dan ekstern. Pengawasan intern lahir dari keimanan personal dan kesadaran individu yang meyakini bahwa semua perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah swt, dan bahwa harta itu adalah amanat yang harus dikelola dengan semestinya. Pengawasan seperti ini akan melahirkan sugesti untuk menjaga diri dari penyalahgunaan, penyelewengan, dan korupsi. Ada dua system perekonomian dunia yaitu kapitalisme dan sosialisme namun kedua sistem ini telah terbukti gagal. Namun pengawasan intern seseorang banyak mengalami kegagalan untuk mengontrol nya, sehingga di perlukan badan yang berfungsi sebagai badan pengawas secara ekstern yaitu BPK.
Peningkatan peran BPK untuk mewujudkan cita-cita reformasi tercermin dalam Rencana Strategis BPK Tahun 2005-2010 :
Pertama adalah meningkatkan kegiatan dalam pemberantasan KKN. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dalam bentuk nota kesepahaman antara BPK dengan KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan PPATK. Disamping itu juga diadakan pertemuan secara periodik antara BPK dan instansi-instansi tersebut dalam rangka membahas adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Kedua, BPK membantu Pemerintah untuk mengimplementasikan Paket tiga Undang-Undang tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dalam bentuk SPKN, SAP, dan SPIP.
Ketiga, selama dua tahun terakhir BPK pun telah membantu pemerintah untuk melakukan reformasi institusional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan badan layanan umum, seperti sekolah/ universitas dan rumah sakit. Peran seperti ini merupakan bagian dari tugas BPK untuk memberikan opini, simpulan dan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh auditee (pemerintah).
Keempat, secara bertahap BPK akan melakukan audit kinerja guna menilai ekonomi, efisiensi, maupun efektifitas kegiatan instansi pemerintah. Dengan semakin berkembangnya BPK, diharapkan lembaga ini dapat memberikan rekomendasi serta pemikiran jangka panjang sebagai bahan pertimbangan bagi badan legislatif dan eksekutif serta masyarakat luas untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada konsep spending less, spending well dan spending wisely.
Kelima, Peningkatan kapasitas dan kapabilitas organisasi juga akan terus dilakukan, sejalan dengan tuntutan perubahan lingkungan. Dalam jangka panjang, seperti praktik umum di berbagai negara dan sesuai dengan semangat UU No. 15 Tahun 2004, pemeriksaan keuangan akan semakin banyak diserahkan kepada Kantor Akuntan Publik (KAP), dengan pengawasan dari BPK. KAP yang akan melakukan pemeriksaan sektor publik untuk dan atas nama BPK, akan diseleksi, disertifikasi dan diawasi oleh BPK. Selanjutnya, fokus pemeriksaan BPK akan lebih banyak pada pemeriksaan kebijakan, berkelanjutan maupun pemeriksaan lainnya
keenam, membantu masyarakat dan pengambil keputusan untuk melakukan alternatif pilihan masa depan.


Pembahasan


Secara konstitusional BPK diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 E dan diperkuat dengan dikeluarkannya UU no.15 Tahun 2006 tentang BPK. Pada Pasal 6 menyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dalam ketentuan itu, maka peran BPK sangat membantu dalam menanggulangi kerugian negara akibat pengelolaan keuangan oleh lembaga-lembaga negara kurang baik.
Lingkup pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi; pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan atas tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh karena kewenangan pemeriksaan keuangan negara oleh BPK sangat luas dan tidak hanya mencakup keuangan dalam APBN saja, maka wajar apabila kedudukan BPK secara lembaga konstitusional bersifat independen.
Pemeriksaan keuangan negara oleh BPK juga dikaitkan oleh objek pemeriksaan pertanggungjawaban hasil pemeriksaan yang lebih luas dan melebar. BPK juga diharuskan menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangan masing-masing. Bahkan, dalam hal hasil pemeriksaan itu mengindikasikan perlunya penyelidikan dan penyidikan diproses secara hukum oleh lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK). Lembaga penegak hukum inilah yang dimaksud oleh Pasal 23E UUD 1945 dengan istilah "badan sesuai dengan undang-undang" dalam rumusan ayat (3) "Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang".
Seperti dalam kasus Bank Century, BPK mendapatkan hasil-hasil dari investigasi terhdap kasus Bank Century,yaitu:
Ø  Pemeriksaan pada proses merger dan pengawasan Bank
Dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank CIC dan Bank Pikko menjadi Bank Century, Bank Indonesis bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.
Ø  FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek)
Bank Indonesia patut diduga melakukan perubahan persyarakatan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini melanggar ketentuan PBI nomor 10/30/PBI/2008. Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83% sehingga melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon FPJP.
Ø  Penetapan Bank gagal sistemik dan penangannya
BI tidak memberika informasi sepenuhnya, lengkap dan mutakhir pada saat menyampaikan bank Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP atas SSB (Surat-Surat Berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan kecukupan modal (CAR) dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari yang semula diperkirakan sebesar Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun.
BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century tetapi penetapannya lebih pada judgement. Proses pengambilan keputusan tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak berdasarkan pada kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal, berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan mengacu pada Perppu No. 4 Tahun 2008.
Dari semua ketentuan yang ada menunjukkan bahwa pada saat penyerahan Bank Century dari komite koordinasi kepada LPS tanggal 21 November 2008 itu kelembaggan komite koordinasi yang beranggotakan Menkeu sebagai ketua, Gubernur BI sebagai anggota dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota belum pernah dibentuk berdasarkan UU.
Keputusan KSSK tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik tanpa menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Sampai saat ini, LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan perkara. Hal tersebut melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 5/PLPS/2006 (PLPS No. 5) Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan gagal berdampak sistemik.

Ø  Penggunaan dana FPJP dan PSM (Penyertaan Modal Sementara)
Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik salah satu nasabah Bank Century yang dipinjamkan atau digelapkan sebesar AS$18 juta dengan dana yang berasal dari PMS. Selain itu, pemecahan deposito nasabah tersebut menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit (NCD) dengan nilai nominal masing-masing Rp2 miliar dilakukan untuk mengantisipasi jika Bank Century ditutup maka deposito nasabah tersebut termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.

Ø  Pengelolaan Bank Century
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah mengeluarkan biaya penanganan untuk penyertaan modal sementara sebesar Rp6,7 triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian Bank Century. Dari jumlah tersebut sebesar Rp5,86 triliun merupakan kerugian Bank Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.

Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal, dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian dari keuangan negara. Permasalah-permasalahan yang timbul adalah permasalahan surat-surat berharga dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang mengakibatkan kerugian Bank Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak sehat yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar Pasal 8 ayat 1, Pasal 49 ayat 1 dan Pasal 50 serta Pasal 50 a UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah merugikan Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp6,32 triliun yang pada akhirnya kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS.
Berikut ini adalah daftar 16 Negara Terkorup di Asia Pasifik*  oleh PERC 2010
  1. Indonesia (terkorup)
  2. Kamboja (korup)
  3. Vietnam (korup)
  4. Filipina (korup)
  5. Thailand
  6. India
  7. China
  8. Taiwan
  9. Korea
  10. Macau
  11. Malaysia
  12. Jepang
  13. Amerika Serikat (bersih)
  14. Hong Kong (bersih)
  15. Australia (bersih)
  16. Singapura (terbersih)
Catatan * :  Negara Asia-Pasifik yang disurvei adalah negara yang memiliki kemajuan ekonomi cukup pesat di kawasannya dalam  beberapa tahun terakhir.
Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi ternyata masih mengalami kegagalan, dan bahkan makin memburuk dari tahun ke tahun. Namun menurut saya Indonesia mendapatkan ururtan pertama itu tidak begitu mengherankan, karena Pemerintah yang dan Lembaga-lembaga yang ada di Indonesia memang tidak begitu maksimal. Mereka lebih menekankan pada kepentingan Individu, kepentingan lembaga, dan kepentingan politik.
Seperti dalam kasus Bank Century, hasil dari investigasi yang telah dilakukan BPK tidak ada tindak lanjutnya. Padahal dari hasil investigasi tersebut sudah terlihat bahwa ada kejanggalan seperti dalam pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek), disitu Bank Indonesia telah memberikan FPJP kepada Bank Century padahal pada saat itu CAR yang dimilki oleh Bank Century tidak memenuhi likuiditas sebesar 8%, karena pada saat itu CAR yang dimiliki oleh Bank Century hanya 3,53%.
Selain itu juga BPK dalam lapoeannya tidak menjelaskan kemana saja dana bailout Bank Century di alirkan, dengan alasan karena adanya Undang-Undang No 15 Tahun 2002, sehingga BPK tidak mencantumkan kemana saja dana Bailout di kucurkan. Namun nenurut saya tidak hanya karena adanya Undang-Undang itu, jika mamang yang menjadi masalah adalah Undang-Undang tersebut maka BPK dapat mengajukan untuk mrervisi Undang-Undang tersebut, namun BPK tidak melakukan itu, sehingga dapat dilihat bahwa BPK masih setengah-setengah dalam memberikan laporan yang jelas karena masalah itu banyak menyangkut orang-orang yang ada didalam Pemerintahan. Sehingga laporan hasil investigasi tersebut seperti hanya sebagai formalitas saja.
Apalagi dapat dilihat pada kenyataan sekarang ini kabar berita tentang kasus Bank Century hampir tidak terdengar apalagi setelah ada kasus-kasus lain yang dapat menutupinya seperti kasus gayus tambunan, nasib TKI yang ada di Luar Negeri dan kasus-kasus lainnya. Kurang transparasinya penyelidikan yang dilakukan BPK membuat masyarakat bingung dan tidak tau sampai mana penyelidikan yang dilakukan BPK saat ini.
Dapat disimpulkan juga bahwa ada tujuan-tujuan strategis BPK belum tercapai,seperti :
Ø  Mewujudkan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang
independen dan profesional.
BPK belum dapat menjadi lembaga yang independent dan profesional karena dilihat dari kasus di atas kinerja BPK masih di pengaruhi oleh intervensi lembaga dan individu.
Ø  Memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan
BPK bertujuan memenuhi kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), dan masyarakat pada umumnya dengan menyediakan informasi yang
akurat dan tepat waktu kepada pemilik kepentingan atas penggunaan, pengelolaan,
keefektifan, dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Namun kebutuhan dan harapan masyarkat belum terpenuhi, karena BPK belum memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat, BPK hanya memenuhi kebutuhan dan harapan bagi para stakeholders.
 

0 komentar:

Posting Komentar